Sabtu, 07 April 2012
perbedaan takwil & hermaneutika
Perbedaan Takwil dan Hermenetika
Ditulis oleh Admin pada 27 November 2010 | Kliping |
Rumah Terjemah melayani terjemah bahasa Arab, Inggris, Buku, Skripsi, Tesis, dll.
Bandingkan Daftar Harga kami..!
Belum lama ini terjadi pencekalan Prof. Nasr Hamid Abu Zayd ketika akan
tampil di seminar internasional yang diadakan oleh Universitas Islam
Malang, Jawa Timur. Abu Zayd terkenal dengan metode hermeneutik, yaitu
penafsiran Al-Quran dengan pendekatan linguistik, yang biasa digunakan
untuk menginterpretasi Injil dengan menganalisis kondisi pengarangnya.
Saya tidak akan menyoroti peristiwa pencekalan itu secara
sosiologis-politis. Sebab yang menarik bagi saya justru pernyataannya
dalam wawancara singkat dengan majalah Tempo menjelang kepulangannya ke
Belanda setelah dicekal tampil di Malang. Dengan sangat mengejutkan, sang
Profesor dalam wawancaranya itu tidak dapat membedakan konsep takwil dalam
tradisi keilmuan Islam dengan konsep hermeneutika sebagaimana berkembang
di Barat. (rubrik Agama, Majalah Tempo edisi. 42/XXXVI/10 – 16 Desember
2007)
Nasr Hamid dalam wawancaranya mengatakan bahwa: “Hermeneutik dalam bahasa
Arab adalah takwil. Takwil adalah metode yang sangat-sangat Islami untuk
memahami Al-Qur’an. Tidak peduli Anda Sunni, Syiah, atau apa, Anda perlu
menginterpretasi Al-Qur’an. Hermeneutik adalah teori untuk
menginterpretasi Al-Qur’an.” Pada poin ini terjadi konfusi dan kerancuan
terjemahan terminologi. Hermeneutika, mengingat alur pemikirannya di
Barat, lebih tepatnya diterjemahkan sebagai: falsafat al-fahm (filsafat
pemahaman teks) atau fahmu al-fahmi (memahami pemahaman teks), bukan
takwil atau falsafat al-takwil. (lihat ‘Adil Musthafa: Fahmu al-Fahmi
Madkhal ila al-Hermeneuthiqa, Ro’yah for Publishing & Distribution, 2007).
Sama halnya dengan kekeliruan menerjemahkan sekularisme dengan
al-’Almaniyah/al-’Ilmaniyah (yang berkonotasi ilmiah, berlandaskan ilmu
dan sains), yang seharusnya lebih tepat dipadankan dengan istilah “al-Huna
- al-Aniyah” (kedisinian dan kekinian).
Beda Takwil dengan Hermeneutika
Sebenarnya tidaklah sulit bagi kita, apalagi sekelas Prof. Abu Zayd, untuk
membedakan konsep takwil dalam tradisi keilmuan Islam dengan konsep
Hermeneutika di Barat.
Pertama, dari sisi etimologis saja padanan dua kata itu tidak dapat
dikatakan sama. Karena orientasi takwil itu adalah penetapan makna,
sementara orientasi hermeneutika itu adalah pemahaman yang berubah-ubah
dan nisbi mengikuti pergerakan manusianya. Kekeliruan penerjemahan istilah
peradaban lain ke dalam kamus peradaban kita, disadari atau tidak, akan
dapat merusak konsep istilah keilmuan kita yang telah mapan.
Kedua, dari segi latar belakang historisnya. Sebagaimana maklum, metode
hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi
Barat-Kristen. Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar
Perjanjian Baru, dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan
problem hermeneutis dan usaha berkelanjutan dalam menanganinya. Hal ini
berbeda dengan Alquran. Tidak ada alternatif pemahaman selain bahwa
Alquran, seluruh redaksi dan maksudnya langsung dari Allah swt. Nabi
Muhammad saw menjadi sekadar “Juru bicara ada” (loudspeaker of being).
Status otoritatif yang diduduki Alquran tidak pernah dipertanyakan lagi,
yang disebabkan dua hal:
1. Alquran sendiri dengan tegas menekankan teori ini dan tidak menyediakan
ruang untuk spekulasi. Nabi tidak pernah gagal menarik garis yang tegas
antara kata-katanya dan kata-kata dari Alquran.
2. Kaum Muslim tanpa ragu meyakini bahwa di tangan mereka, huruf, kata,
kalimat dan sistematika Alquran tetap terjaga seperti keadaannya di masa
Nabi.
Dua faktor ini, dan ditambah fakta bahwa Alquran mengandung
prinsip-prinsip penafsiran dalam dirinya sendiri, mempersulit tematisasi
problem hermeneutis dalam Islam, suatu hal yang di Barat dipaksakan
kemunculannya oleh kebutuhan mendesak. Belum ada seorang pemikir Muslim
pun yang pernah mengajukan problem ini sebagai tema utama pemikirannya.
Metode Takwil di Tengah Tarikan Humanisme Sekuler-Liberal
Wacana kaum sekuler-liberal dengan semangat mempropagandakan takwil
sebagai brand untuk membaca Al-Qur’an di era modern ini. Oleh karena
istilah takwil ini adalah istilah yang sering digunakan Al-Qur’an (paling
tidak 17 kali) dibanding istilah tafsir (hanya 1 kali), maka dengan mudah
dimaknai untuk kepentingan dan target ideologis yang hampir dipraktekkan
oleh seluruh sekte-sekte sempalan dalam setiap agama, tak terkecuali
Islam, dalam membaca dan menafsir ulang teks-teks kitab suci.
Takwil dalam pandangan kelompok liberal dan sekte sempalan lainnya adalah
batu karang kokoh yang akan memecah kesatuan sistem pemikiran Islam yang
telah dikonstruksi dengan teliti dan seksama oleh para ulama muslim selama
kurun perjalanan Islam sebagai agama sekaligus peradaban. Dengan
mengendarai tumpangan takwil inilah, mereka berupaya untuk melakukan
kontribusi penghancuran dan perusakan Islam dari dalam secara mengerikan.
Melalui mekanisme takwil itu, teks suci Islam dijebol pemaknaannya dengan
cakrawala ijtihad “modern” dengan mengajukan tawaran superioritas realitas
hidup manusia yang terus berubah, terutama ke arah keburukan, untuk
dibenturkan dengan ajaran ideal normatif dari teks suci, dengan harapan
teks dapat dikuasai, dikendalikan dan diarahkan maknanya oleh realitas
manusia yang jauh dari idealisasi teks Al-Qur’an dan sunnah nabi.
Modus pemikiran semacam inilah yang telah menyebabkan mereka secara
membabi buta membela terminologi takwil dalam konteks penafsiran kitab
suci. Takwil yang telah sekian lama ditinggalkan dan dikubur oleh otoritas
agama kemudian diangkat dan dihidupkan lagi, serta diposisikan sebagai
pihak ‘terzalimi’ dan ‘tertindas’ di tengah pertarungan ideologi dan
otoritas keagamaan. Meminjam bahasa Nasr Hamid, bahwa selama perjalanan
panjang tradisi keilmuan Islam, para ulama Islam melakukan praktik belah
bambu; “mengangkat nilai tafsir” dan “menginjak, meremehkan nilai takwil”,
menerima yang pertama dan kemudian menolak yang kedua dengan stigmatisasi
kekufuran dan kesesatan bagi ilmuan yang mempraktekkannya dalam upaya
penafsiran kitab suci. (Abu Zayd: Mafhumu al-Nash; Dirasah fi ‘Ulumil
Qur’an)
Konsep orisinalitas takwil dalam tradisi keilmuan Islam yang telah dikenal
baik dan dipraktekan dengan apik selama berabad-abad ini pun telah
direduksi dan ditelanjangi dari berbagai batasan dan aturan yang
melingkupinya oleh sang kampiun ahli sastra (dan belakangan dipuja
pengikutnya sebagai pakar Al-Qur’an!). Konsep itu tidak lagi dimengerti
sebagai pengalihan suatu lafal kepada makna lain yang dimungkinkan
berdasarkan dalil kuat (secara bahasa, adat dan syar’i) , yang tanpanya ia
tidak boleh sembarangan dialih makna. Sehingga menjadi semacam proses
dekonstruksi yang menghancurkan sistem keterkaitan antara teks dan
pemiliknya, dan antara makna dan segala kemungkinan arti yang diakomodasi
oleh dalil yang kuat itu tadi.
Bagi Nasr Hamid dan semisalnya konsep tafsir dalam ‘Ulumul Quran klasik
tidak cukup untuk memuaskan kepentingan ideologisnya yang lebih berpihak
kepada realitas manusia dan hukum-hukum yang disadur dari deklarasi HAM
ala Barat. Konsep tafsir yang sudah matang atau “gosong” (meminjam istilah
Prof. Amin Abdullah) itu hanya bertujuan untuk menyingkap kehendak pemilik
teks dan makna yang dikandungnya. Tentu saja hal ini tidak memuaskan
kepentingan ideologis kaum liberal, yang berupaya lebih dari itu untuk
mengosongkan teks dari makna dan maksud pemiliknya untuk diisi dengan
konsepsi-konsepsi ideologis berlatar HAM dan modernitas ala Barat; tentu
dengan mengusung terminologi takwil yang dipraktekkan sewenang-wenang
tanpa batasan (hudud) dan aturan (dlawabith).
Pola Kerja Metode Takwil yang Ideal
Penulis setuju dengan pendapat bahwa bahasa teks sebagai sumber tak pernah
kering bagi keragaman pembacaan (at-Ta’addud al-Ta’wîlî, meminjam istilah
Abu Zayd). Tetapi patut dicurigai pula bahwa bahasa memiliki sifat untuk
mengelak (murâwaghah) dan liar jika tidak dibatasi oleh pagar-pagar
metodologis. Dengan demikian amat penting untuk membedakan dua tingkatan
dalam menentukan sistem penandaan suatu makna (dalâlah). Pertama,
tingkatan dalâlah yang bersifat sistemik dan kolektif, melalui
prosedur-prosedur penciptaan makna secara leksikal (perkamusan),
gramatikal (nahw), filologi (fiqh lughah, balaghah dll), dan Kedua,
tingkatan dalâlah yang non sistemik-individual yang memberikan ruang luas
untuk proses qiro’ah dan ta’wil. Seorang penafsir dituntut untuk menjaga
‘equillibrium’ pola pikir individual non sistemik dengan pola kerja
sistemik yang kolektif. Tidak boleh pola pikir individual seorang penafsir
menodai memori kolektif bagi suatu takwil yang justru dapat
menyelamatkannya dari kesesatan. Sebaliknya pola kerja sistemik yang
kolektif tetap bisa menyisakan ruang bagi imajinasi individu sang penafsir
sesuai dengan tambahan pengetahuan dan kekayaan pengalaman hidupnya.
Pola kerja kolektif dalam proses takwil misalnya terumuskan dengan baik
oleh otoritas keilmuan Islam dengan istilah ‘dalil’ (didukung argumentasi
kuat) dan ‘la’b’ (permainan kata-kata yang terlepas dari dalil maupun
ta’wil). “Man yadzhab ila al-ta’wil yaftaqir ila al-dalil”, siapa yang mau
mentakwil maka ia memerlukan indikator kuat. Rumusan mereka bahwa “Nash
memiliki dua macam dalâlah yaitu penandaan lafaz atas maknanya dan
penandaan makna yang telah ditunjuk oleh nash atas makna yang lain”
(‘Abdul Qâhir al-Jurjâni: Dalâ’il al-I’jâz) dan bahwa “Lâ mathmaha fi
al-wushul ila al-bâthin qabla ihkâm al-zhâhir”, tidak ada harapan sampai
kepada makna batin teks sebelum meraih makna zahirnya (Al-Zarkâsyi:
Al-Burhân fi ‘Ulum Al-Qur’ân), mengindikasikan kuatnya memori kesadaran
kolektif disamping memperhatikan aspek ‘ma’tsur’ (sabda dan perilaku
Rasul, sebagai penafsir utama) dalam proses pentakwilan. Oleh karena itu
dibutuhkan nilai pertanggungjawaban atau akuntabilitas dalam setiap upaya
takwil sebagai akibat perimbangan nilai individual dan kolektif.
Sehingga akhirnya, penulis sepakat dengan apa yang dilontarkan Musthafa
Nashif (Mas’uliyyat al-Ta’wil: 2004) bahwa kemunculan takwil dalam
lingkungan tradisi Islam terkait dengan upaya menjaga keseimbangan dan
merupakan wujud dari pemberian kesempatan bagi kehidupan yang berubah
dengan cepat dan pengakuan terhadap kerangka dasar dan otoritas
sekaligus.[facebook.com]
tag: takwil
Incoming search terms:
perbedaan takwil dan terjemah
takwil
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar